SEKOLAH
RAMAH ANAK
A.
Pengertian Sekolah Ramah Anak
1.
Pengertian Sekolah
Kata
sekolah secara bahasa berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae, schola
yang berarti “waktu luang”.26) Permasalahannya, pemahaman akan makna waktu
luang telah mengalami distorsi. Waktu luang diartikan sebagai sanati setelah
beraktivitas apapun, ia bisa baca koran, ngerumpi, nonton TV, jalan-jalan,
ngobrol bersama keluarga, dan berbagai aktifitas rutin.
Untuk
memahami apa sebenarnya waktu luang, Krishnamurti (1981) menerangkan:27)
“Arti
senggang ialah batin mempunyai waktu tak terbatas untuk mengamati: mengamati
apa yang terjadi di sekelilingnya dan apa yang berlangsung dalam dirinya
sendiri; mempunyai waktu senggang untuk mendengarkan, dan untuk melihat dengan
jelas. Senggang berarti ada kebebasan, yang umumnya ditafsirkan sebagai berbuat
semaunya, sesuatu yang memang lazim dilakukan orang dari anggapan yang
menimbulkan kekacauan besar, penderitaan dan kebingungan. Senggang berarti
bahwa batin tenang, tidak ada motif, dan karena itu tidak ada arah. Inilah
senggang, dan hanya dalam keadaan inilah batin mungkin belajar, tidak hanya
sains, sejarah, matematik, tetapi juga tentang dirinya sendiri”.
Inilah
pengertian sekolah sesungguhnya. Sekolah bukan hanya tempat untuk memperoleh
pengetahuan atau informasi sebanyak-banyaknya tapi jauh lebih penting dari
semua itu adalah sebagai wadah bagi guru dan siswa untuk sama-sama belajar,
sama-sama mengamati apa yang terjadi di seklilingnya dan terlebih lagi
pengamatan terhadap diri masing-masing. Kesemua itu harus terjadi pada saat
batin tenang dan itulah makna senggang sesungguhnya. Belajar dapat berlangsung dengan
sempurna pada saat batin tenang tanpa tekanan.28)
Beberapa
kata sudah menjadi sedemikian fleksibel sehingga tidak ada gunanya lagi.
“Sekolah” dan “mengajar” adalah contoh kata seperti itu. Seperti amoeba,
kata-kata ini bisa menyusup ke dalam hampir semua celah bahasa. Dengan demikian
upaya mencari alternatif pendidikan harus dimulai dengan kesepakatan menganai
apa yang kita maksudkan “sekolah”.29) Ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara.30) Demi mengembangkan suatu bahasa yang memungkinkan kita berbicara
tentang sekolah tanpa terus menerus mengacu pada pendidikan, kita mulai dengan
sesuatu yang disebut fenomenologi sekolah umum.
Sekolah
mengelompokkan orang menurut umur. Pengelompokkan ini didasarkan pada tiga
premis yang diterima begitu saja. Anak hadir di sekolah. Anak belajar di
sekolah. Anak hanya bisa diajar di sekolah.31) Kesemuanya merupakan
premis-premis yang tidak bertanggungjawab, karena belum teruji kebenarannya,
dan menjadi pembahasan yang perlu dipersoalkan secara serius. Kenyataannya, banyak
anak-anak kehilangan mas kanak-kanaknya. Mereka tidak bisa merasakan masa
kanak-kanak. Kebanyakan orang di dunia ini tidak mau atau tidak bisa menjamin
masa kanak-kanak bagi anak cucu mereka.
Tapi juga
tampak bahwa masa kanak-kanak merupakan suatu beban bagi sejumlah besar anak di
antara segelintir anak yang masih menghargai masa kanak-kanak itu. banyak di
antara mereka sekedar terpaksa melewatinya dan tidak benar-benar bahagia
memainkan peran seorang anak kecil. Tumbuh melewati masa kanak-kanak berarti terpaksa
mengalami suatu proses konflik yang tidak manusiawi di antara kesadaran diri
dan peran yang dipaksakan oleh masyarakat sebagai anak usia sekolah.
Seandainya
tidak ada lembaga pendidikan yang mengenal batas umur dan usia wajib sekolah,
tidak akan ada lagi “masa kanak-kanak”. Kaum muda tidak akan lagi beringas.
Seandainya masyarakat berhasil mengatasi masa kanak-kanaknya, ia akan menjadi
tempat yang menyenangkan bagi kaum muda. Pemisahan yang sekarang ada antara
masyarakat dewasa yang menganggap diri manusiawi dan lingkungan sekolah yang
melecehkan realitas tidak bisa dipertahankan lagi.
Kebutuhan
akan suasana yang khas masa kanak-kanak menimbulkan suatu pasar yang tak ada
batasnya akan guru-guru yang diakui keahliannya. Kita harus merubah asumsi bahwa
sekolah adalah lembaga yang dibangun atas dasar anggapan kegiatan belajar
adalah hasil dari kegiatan mengajar. Dan kearifan yang berkaitan dengan lembaga
terus saja menerima anggapan ini, terlepas dari begitu banyak bukti yang
menunjukkan hal yang sebaliknya.
Begitu
sekolah-sekolah kita didirikan sebagai tempat menjajakan “barang-barang” yang
bernama ilmu pengetahuan, yang harus dimiliki” setiap orang agar bisa bertahan
hidup. Maka, kita mengagumi “kecerdasan”. Karena itulah mata uang paling
bergengsi yang digunakan untuk membeli “barang-barang” tersebut. Dan belajar
adalah transaksinya.32) Di sekolah seperti itu anak-anak belajar “menguasai”
pelajaran. Bukan menjadi sesuatu dengan pelajaran tersebut. Makin banyak
pelajaran yang dapat mereka kuasai, makin baik transaksi mereka. Maka,
seolah-olah berburu anak-anak cerdas, yang melakukannya banyak transaksi.
Akan
tetapi yang kemudian kita saksikan justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak
mengalami transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika misalnya, tidak serta
merta membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah tidak memberi
mereka kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa bahkan
tidak membantu mereka berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Selagi
pendidikan berperan sebagai pusat perubahan konstruktif di dunia saat ini,
lembaga-lembaga pendidikan tetap saja terkenal sulit diperbaharui. Ada yang
pernah berkata, lebih gampang memperbaharui sebuah makam ketimbang universitas.
Terlalu mudah, untuk hanya sekedar mengikuti praktek tradisional dan menganggap
kegagalan-kegagalan sekolah adalah hasil perbuatan yang samar-samar dari
sekelompok mafia pendidikan yang keji.33)
Lebih baik
kita menganggap, seperti dilontarkan oleh Silberman,34) “biang kegagalan
persekolahan bukannya kolusi dan komplotan jahat ‘melainkan’ ‘kekerasan’
(banalitas) dan sikap dan tindakan ‘tanpa pikir’: gagalnya seluruh jajaran
pendidikan untuk ‘berpikir mendalam dan secara serius mengenai tujuan-tujuan
serta konsekuensi-konsekuensi pendidikan – inilah jantung persoalan pendidikan
kita”.
Selanjutnya
Siberman berkata:35)
… pada
dasarnya, para guru, kepala sekolah, dan para pemilik sekolah adalah
orang-orang yang baik, cerdas dan peduli, yang mencoba untuk melakukan yang
sebaik mungkin sebisa-bisanya. Andai mereka merusakkan pekerjaan mereka itu,
dan sebagian dari mereka memang melakukannya, itu karena tidak pernah terpikir
oleh mereka – kecuali segelintir saja – untuk bertanya mengapa mereka melakukan
apa yang mereka lakukan itu – untuk mempertanyakan secara serius dan
sungguh-sungguh tentang tujuan atau konsekuensi pendidikan.
****
Jika
perilaku ‘tanpa pikir’ adalah persoalan utama pendidikan kita maka
penyelesaiannya mustilah dengan cara menyuntikkan tujuan, atau lebih penting
lagi dengan pemikiran tujuan, serta cara-cara dimana berbagai teknik, isi
pengajaran, dan pengorganisasian pendidikan memenuhi ataukah justru melenyapkan
tujuan. Itu semua harus disuntikkan ke lembaga-lembaga itu untuk mengacau
pemahaman tentang ‘rutinitas’ sebagai ‘tujuan’ dengan ‘tindakan yang
bertujuan’, untuk menjadikan ‘cara-cara’ sebagai tujuan itu sendiri, maka
pencangkokkan tujuan itu tadi jelas akan bisa rampung dengan sekali tembak.
Salah satu
dari sekian hal yang membuat sekolah-sekolah kita saat ini jadi mencengangkan
adalah persis adanya kenyataan bahwa sekolah-sekolah itu – dengan segenap
ketidakpedulian dan kesalah-pahaman dalam ruang lingkup yang lebih kecil
memantulkan konflik-konflik intelektual dan moral budaya yang lebih luas.36)
Ironisnya,
pertanyaan tentang apa arti pendidikan dan bagaimana seharusnya pendidikan itu
telah menjadi pokok kepedulian pendidikan kontemporer. Sekolah-sekolah itu
telah menjadi sadar diri. Seperti banyak siswa yang menuntut ilmu di dalamnya,
mereka mengalami krisis jati diri. Akibatnya, perdebatan tentang tujuan-tujuan
yang lebih besar dalam pendidikan kini tidak lagi menjadi hal yang tersisih ke
pinggiran, yang jarang dipakai sebagai bahan pertimbangan. Ia kini memiliki
status sebagai prioritas, sebagaimana mustinya sejak awal, yakni di jantung
kurikulum pendidikan.
Belajar
adalah proses berubah secara konstan!37)
Pengetahuan
bukan barang yang harus kita miliki. Pengetahuan adalah sebuah fungsi. Ia
adalah cahaya yang menerangi ruang kesadaran batin kita. Seperti umumnya cahaya
yang berpendar-pendar di tengah ruang gelap., kita hanya bisa bergerak secara
baik dalam jengkal-jengkal ruang yang dibingkai cahaya. Sebagai sebuah fungsi,
kita harus mempelajari semua pengetahuan yang membantu kita berubah menjadi
lebih baik. Belajar adalah proses menggunakan pengetahuan sebagai penuntun
perjalanan mendekati kesempurnaan yang konstan. Belajar adalah proses menjadi
secara konstan. Karena menjadi merupakan proses yang tidak pernah berakhir,
belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang tidak pernah selesai.
Persekolahan
saat ini lebih menitikberatkan pada manusia-manusia being ketimbang
mengkombinasikan being dan become. Menurut Yusran Pora dalam bukunya “Selamat
Tinggal Sekolah”, manusia becoming adalah manusia masa kini. Dimana manusia
memiliki tiga atribut dasar: intelligence38), free-will39), speech40). Manusia
yang melakukan pengamatan mumi dari waktu ke waktu tentang lingkungan serta
dirinya. Sesuatu masa kini adalah sesuatu yang menyatu, terang dan aktif.41)
Kita semua
telah belajar sebagian besar apa yang kita ketahui justru di luar sekolah
.murid melakukan sebagian besar kegiatan belajar mereka tanpa guru, dan sering
sendiri meski ada guru. Lebih tragis lagi, kebanyakan orang diajar oleh
sekolah, walaupun mereka tidak pernah ke sekolah. Sekolah, dari nama saja,
cenderung menyita seluruh waktu dan tenaga guru maupun murid. Ini pada
gilirannya, akan membuat guru sebagai pengawas, pengkhotbah dan ahli terapi.
Dalam setiap peran ini guru mendasarkan otoritasnya atas anggapan yang berbeda.
Ketidakpastian
mengenai masa depan kegiatan mengajar yang profesional menempatkan sekolah
dalam posisi yang riskan. Seandainya para profesional di bidang pendidikan
memang ahli memajukan kegiatan belajar mengajar, mereka harus mengabaikan
sistem yang menuntut pertemuan tatap muka menyeramkan. Tentu saja para guru
bisa melakukan lebih banyak hal lagi.
Kearifan
yang berkaitan dengan lembaga sekolah mengatakan kepada orang tua, murid, dan
pendidik bahwa guru, kalau sedang mengajar, harus menunjukkan wibawanya dalam
penampilan yang angker. Ini bahkan berlaku juga bagi guru yang murid-muridnya
menghabiskan sebagian besar waktu sekolahnya di sebuah ruang kelas tanpa tembok
pemisah, semisal Sekolah Alternatif, Sekolah Alam (SA).
Semisal,
Sekolah Peradaban – Cilegon – Banten merupakan salah satu sekolahan yang
menerapkan pola pendidikan yang berbasiskan cara-cara otak bekerja dalam
menyerap suatu informasi atau ilmu. Pola ini kemudian menjadi motto Sekolah
Peradaban: “Belajar Sesuai Cara Otak Belajar”. Sekolah Peradaban juga
mengadopsi sistem Multiple Intelligency (Kecerdasan Majemuk), yang merupakan
pendekatan mutakhir dalam dunia pendidikan. Sekolah Peradaban setipe dengan
Sekolah Alam (SA).42)
Sekolah
Alam (SA) merupakan sebuah persekolahan dengan terobosan baru dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Sebuah sekolah dengan pendekatan pembelajaran yang
membuat siswa tetap riang gembira di saat sekolah berlangsung (joyful
learning). Bukankah anak akan belajar secara efektif bila dia berada dalam
kondisi fun dan nyaman.
Siswa yang
telah berakal “Bagaimana cara BELAJAR dan BERPIKIR” dan telah menjadi bagian
dari diri mereka, Insya Allah mereka akan tumbuh menjadi manusia yang mandiri
secara ekonomi, memiliki hubungan kemanusiaan yang mantap, serta memiliki
pertumbuhan kepribadian yang mantap. Dan mereka pun akan sangat mengenal diri
mereka dan pada akhirnya mereka akan mengenal Tuhan-nya serta “Cinta”
kepada-Nya akan semakin dalam dan abadi.
Belajar
“BAGAIMANA CARA BELAJAR DAN BERPIKIR” berarti belajar dengan cara yang sesuai
dengan cara otak belajar dan bekerja. Ini juga berarti proses pembelajaran akan
sangat khas atau berbeda bagi setiap individu walaupun dengan materi yang sama,
karena otak manusia sesungguhnya sangat individual, khas, dan spesifik.
Dengan
keikhlasan setiap otak manusia ini, akan lebih optimal dan efektif bila kiranya
setiap individu dikelompokkan sesuai dengan kekhasan cara belajar mereka.
Kondisi fisiologis mereka ketika belajar juga akan sangat berpengaruh terhadap
keefektifan cara belajar mereka. Suasana dan kondisi lingkungan yang
menyenangkan (fun learning), akan sangat mendukung dalam proses pembelajaran
ini.
Berdasarkan
hal tersebut, sangatlah penting bagi kita untuk mengkonsep sebuah pendidikan
yang menyelenggarakan sistem belajar mengajar yang menghargai setiap potensi
yang ada, serta diselaraskan dengan kondisi psikologi siswa, sehingga otak
mereka akan sangat mudah untuk bekerja sama dalam proses pembelajaran dan
proses belajar pun akan menjadi sangat optimal dan efektif.
Siswa
tidak hanya dikurung di dalam kelas, tetapi juga belajar di ruang terbuka
dengan berbagai variasi model pembelajaran dan dikemas dalam aktivitas yang
menantang dan game edukatif.
Budaya belajar
harus menjadi “Petualangan seumur hidup” dan “Perjalanan eksplorasi tanpa
akhir”, sehingga pertumbuhan seluruh kepribadian kita akan tercelup dan
terwarnai dengan nilai-nilai yang kita pelajari. Dengan demikian “Belajar” akan
menjadi sangat bermakna dan sanggup mencetak pribadi-pribadi yang beradab.
Inilah
sekolah yang berusaha mengaplikasi model pembelajaran yang memperhatikan
perkembangan psikologis siswanya. Mengembangkan kebiasan belajar sesuai dengan
kondisi alami dan kejiwaan anak. Karena kita tahu, dunia anak adalah bermain.
Maka proses belajar anak seharusnya tidak boleh terpisahkan dari dunia bermain.
2.
Pengertian Ramah Anak
Desa ramah
anak, kota ramah anak, sekolah ramah anak dan berbagai macam kata dan kalimat
ramah anak sekarang mulai ramai digunakan dan dibicarakan oleh berbagai
kalangan. Sebenarnya apa yang dimaksud ramah anak itu?
Kata ramah
anak mulai marak dipakai setelah diadopsinya Hak-hak anak oleh PBB yang
kemudian diratifikasi oleh hampir seluruh anggota PBB pada tahun 1989. Sejarah
Hak Anak sebagai turunan langsung dari Hak Asasi Manusia adalah salah satu
kisah perjalanan panjang sejarah perjuangan hak asasi manusia. Setelah perang
dunia II yang menyebabkan banyaknya anak-anak yang menjadi korban, pada tahun
1979 dibentuk sebuah kelompok kerja untuk merumuskan hak anak. Kelompok kerja
ini kemudian merumuskan Hak-hak Anak yang kemudian pada tanggal 20 November
1989 diadopsi oleh PBB dan disyahkan sebagai Hukum Internasional melalui
konveksi PBB yang ditandatangani oleh negara-negara anggota PBB.47)
Menurut
UNICEF Innocentty Research dalam kata ramah anak (CFC), ramah anak berarti
menjamin hak anak sebagai warga kota.48) Sedangkan Anak Wayang Indonesia dalam
masyarakat ramah anak mendefinisikan kata ramah anak berarti masyarakat yang terbuka,
melibatkan anak dan remaja untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta
mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa ramah anak berarti menempatkan, memperlakukan dan menghormati anak
sebagai manusia dengan segala hak-haknya. Dengan demikian ramah anak dapat
diartikan sebagai upaya sadar untuk menjamin dan memenuhi hak anak dalam setiap
aspek kehidupan secara terencana dan bertanggungjawab. Prinsip utama upaya ini
adalah “non diskriminasi”, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Mengapa
harus anak? Sesuai bunyi Pasal 4 UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak
disebutkan setiap anak berhak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapatkan perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi. Salah satu hak
dasar anak tersebut adalah hak berpartisipasi yang diartikan sebagai hak untuk
mengeluarkan pendapat dan didengarkan suaranya.49)
Selain
yang telah disebutkan di atas, diakui atau tidak anak adalah tumpuan harapan
semua orang tua. Pada anak dicurahkan segala perhatian serta harapan akan hari
depan generasi penerus (keturunan) keluarga dan pada pengasuhan anaklah terjadi
sinergisitas peran laki-laki dan perempuan. Setiap aspek dalam kehidupan
keluarga, sekolah dan masyarakat baik langsung maupun tidak akan menyentuh
anak. Orang tua bekerja mencari nafkah untuk menghidupi dan menyekolahkan anak
agar dapat menjadi kebanggaan. Masyarakat melakukan berbagai hal adalah juga
untuk kepentingan anak (sanitasi, pendidikan, dll). Maka tidaklah salah jika
pembangunan dititikberatkan pada pemenuhan hak anak.
Anak
mempunyai posisi yang strategis. Dalam keluarga anak adalah prioritas utama
sebagai tumpuan masa depan keluarga. Pada anak seluruh harapan dan cita-cita
orang tua tertumpah. Namun seringkali hal ini menjadi beban berat yang harus
dipikul oleh anak. Manakala orang tua menjadikan anak sebagai pelampiasan
obsesi mereka yang belum tercapai. Anak dijadikan sarana untuk mengejawantahkan
impian mereka. Tentu saja hal ini menjadi tidak sehat bagi anak, mereka dipaksa
berjalan menurut rel yang telah diariskan orang tua mereka tanpa bisa melawan.
Meski
demikian diakui maupun tidak semua upaya yang dilakukan orang tua adalah demi
anak. Demi penerus garis keturunan orang tua akan melakukan apa saja. Orang tua
bekerja membanting tulang untuk memenuhi segala kebutuhan anak. Mereka akan
selalu berusaha melindungi anak meski anak melakukan kesalahan. Hal ini adalah
wajar dan menjadi fitrah mereka sebagai orang tua.
Dalam
sebuah komunitas anak juga mempunyai posisi yang strategis. Anak adalah
“embrio”, sebuah komunitas baru. Dengan demikian anak menjadi penentu nasib perjalanan
suatu komunitas. Anak juga dipandang sebagai tunas muda yang akan menjadi
generasi baru penentu masa depan komunitas. Maka anak harus dipandang dan
diberlakukan sebagai komunitas terpilih dalam komunitas besarnya.
Anak akan
tumbuh dan berkembang dengan optimal bila berada pada lingkungan yang
mendukung. Baik lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat
sekitarnya. Secara garis besar ada beberapa ruang lingkup dimana anak tinggal
dan hidup, dimana lingkunga ini sangat berpengaruh terhadap terciptanya Sekolah
Ramah Anak ini. Yang pertama adalah keluarga kemudian lingkungan masyarakat
(baik lingkungan desa, kota ataupun negara). Ruang lingkup yang lebih besar
lagi adalah dunia internasional.
Sekolah
Ramah Anak (SRA) ini bisa terwujud apabila pisat pendidikan (sekolah, keluarga
dan masyarakat) bisa bahu membahu membangun Sekolah Ramah Anak (SRA) ini.
Keluarga
adalah komunitas terdekat bagi anak didik. Lingkungan keluarga yang ideal bagi
anak adalah sebuah lingkungan keluarga yang harmonis., sehat baik lahir maupun
batin. Lingkungan semacam ini hanya dapat tercipta manakala sebuah keluarga
dapat memenuhi beberapa indikator sebagai berikut:50)
a. Mampu
memberikan hidup yang layak bagi (sandang, pangan, papan), kesehatan dan
pendidikan yang memadai bagi anak.
b. Mampu
memberikan ruang kepada anak untuk berkreasi, berekspresi, dan berpartisipasi
sesuai dengan tingkat umur dan kematangannya.
c. Mampu
memberikan perlindungan dan rasa aman bagi anak.
Dalam
sebuah keluarga yang harmonis, sejahtera dan terlindungi anak akan tumbuh dan
berkembang secara wajar dan mampu mengoptimakan setiap potensi yang ada dalam
dirinya.
Lingkup
selanjutnya adalah lingkungan (masyarakat). Lingkungan masyarakat yang mampu melindungi,
nyaman dan aman akan sangat mendukung perkembangan anak. Anak sebagai pribadi
yang berkembang dan mencari jati diri. Dalam pencariannya anak mempunyai
kecenderungan untuk mencoba hal baru serta mencari pengakuan dari sekitarnya.
Dalam kerangka ini anak seringkali berusaha meniru atau menjadi beda dengn
sekitarnya.
Sebuah
komunitas yang sehat bagi anak adalah komunitas yang mampu menerima dan
menghargai anak sebagai pribadi, apa adanya. Komunitas ini juga harus
mengakomodir kepentingan anak untuk berekspresi, berapresiasi dan
berpartisipasi. Selain itu yang tak kalah penting adalah bagaimana komunitas
mampu memberikan perlindungan pada anak sehingga anak meraasa aman tinggal dan
berinteraksi di dalam komunitasnya.
B. Konsep
Sekolah Ramah Anak
1. Indikator
Sekolah Ramah Anak (SRA)
Sekolah
ramah anak adalah sekolah yang terbuka melibatkan anak dan remaja untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta mendorong tumbuh kembang dan
kesejahteraan anak. Untuk mencapai itu semua diperlukan indiaktor untuk bisa
mencapainya, diantaranya adalah sebagai berikut:51)
a.
Inklusif secara proaktif
1) Secara
proaktif mencari semua anak yang termarginalisasi dari pendidikan.
2)
Mempromosikan dan membantu anak untuk memonitor hak-hak dan kesejahteraan semua
anak di masyarakat.
3)
Menghargai keberagaman dan memastikan kesetaraan kesempatan.
4)
Memberikan pendidikan yang bebas biaya dan wajib serta murah dan aksesibel.
b. Sehat,
Aman dan Protektif
1)
Fasilitas toilet yang bersih.
2) Akses
kepada air minum yang bersih.
3) Tidak
ada kuman fisik atau gangguan.
4)
Pencegahan HIV dan AIDS dan non diskriminasi.
c.
Partisipasi Masyarakat
1)
Terfokus pada keluarga
a) Bekerja
untuk memperkuat keluarga sebagai pemberi asuhan dan pendidikan utama bagi
anak.
b)
Membantu anak, orang tua dan guru membangun hubungan harmonis dan kolaboratif.
2)
Berbasis komunitas
a)
Mendorong kemitraan setempat dalam pendidikan.
b)
Bertindak dalam dan dengan masyarakat untuk kepentingan.
d. Efektif
dan berpusat pada anak
1)
Bertindak menurut kepentingan terbaik tiap anak.
2) Peduli
kepada anak “seluruhnya”; kesehatan, status gizi dan kesejahteraan.
3) Peduli
tentang apa yang terjadi kepada anak sebelum mereka masuk sekolah dan setelah
pulang dari sekolah.
4) Metode
yang kreatif di dalam ruang kelas.
e.
Kesetaraan gender
1)
Mempromosikan kesetaraan gender dalam penerimaan dan prestasi.
2) Bukan
hanya kesempatan yang sama tetapi kesetaraan.
3)
Menghilangkan stereotipe gender.
4)
Menjamin fasilitas, kurikulum, buku dan pengajaran yang sesuai untuk anak
perempuan.
f. Sistem
Sekolah Ramah Anak
1)
Pengajaran yang sesuai dengan kurikulum kemampuan dan gaya belajar tiap anak.
2) Belajar
aktif, kooperatif, dan demokratis.
3) Isi
terstruktur dan materi dan sumber daya yang berkualitas baik.
4)
Mengajar anak bagaimana belajar: melindungi anak dari pelecehan dan bahaya
kekerasan.
2.
Ciri-ciri Sekolah Ramah Anak
Ada
beberapa ciri-ciri Sekolah Ramah Anak yang ditinjau dari beberapa aspek:52)
a. Sikap
terhadap murid
1)
Perlakuan adil bagi murid laki-laki dan perempuan, cerdas-lemah, kaya-miskin,
normal-cacat, anak pejabat-anak buruh.
2)
Penerapan norma agama, sosial dan budaya setempat.
3) Kasih
sayang kepada murid, memberikan perhatian bagi mereka yang lemah dalam proses
belajar karena memberikan hukuman fisik maupun nonfisik bisa menjadikan anak
trauma.
4) Saling
menghormati hak-hak anak, baik antar murid, antar tenaga, kependidikan serta
antara tenaga kependidikan dan murid.
b. Metode
Pembelajaran
1) Terjadi
proses belajar sedemikian rupa sehingga siswa merasakan senang mengikuti
pelajaran, tidak ada rasa takut, cemas dan was-was, siswa menjadi lebih aktif
dan kreatif serta tidak merasa rendah diri karena bersaing dengan teman siswa
lain.
2) Terjadi
proses belajar yang efektif yang dihasilkan oleh penerapan metode pembelajaran
yang variatif dan inovatif. Misalnya: belajar tidak harus di dalam kelas, guru
sebagai fasilitator proses belajar menggunakan alat bantu untuk meningkatkan
ketertarikan dan kesenangan dalam pengembangan kompetensi, termasuk lingkungan
sekolah sebagai sumber belajar (pasar, kebun, sawah, sungai, laut, dll).
3) Proses
belajar mengajar didukung oleh media ajar seperti buku pelajaran dan alat bantu
ajar/peraga sehingga membantu daya serap murid. Guru sebagai fasilitator
menerapkan proses belajar mengajar yang kooperatif, interaktif, baik belajar
secara individu maupun kelompok.
4) Terjadi
proses belajar yang partisipatif. Murid lebih aktif dalam proses belajar. Guru
sebagai fasilitator proses belajar mendorong dan memfasilitasi murid dalam menemukan
cara/ jawaban sendiri dalam suatu persoalan.
5) Murid
dilibatkan dalam berbagai aktifitas yang mengembangkan kompetensi dengan
menekankan proses belajar melalui berbuat sesuatu (learning by doing, demo,
praktek, dll).
c.
Penataan Kelas
1) Murid
dilibatkan dalam penataan bangku, dekorasi dan ilustrasi yang menggambarkan
ilmu pengetahuan, dll. Penataan bangku secara klasikal (berbaris ke belakang)
mungkin akan membatasi kreatifitas murid dalam interaksi sosial dan kerja
dikursi kelompok.
2) Murid dilibatkan
dalam menentukan warna dinding atau dekorasi dinding kelas sehingga murid
menjadi betah di dalam kelas.
3) Murid
dilibatkan dalam memajang karya murid, hasil ulangan/ test, bahan ajar dan buku
sehingga artistik dan menarik serta menyediakan space untuk baca (pojok baca).
4) Bangku
dan kursi sebaiknya ukurannya disesuaikan dengan ukuran postur anak Indonesia
serta mudah untuk digeser guna menciptakan kelas yang dinamis.
d.
Lingkungan Kelas
1) Murid
dilibatkan dalam mengungkapkan gagasannya dalam menciptakan lingkungan sekolah
(penentuan warna dinding kelas, hiasan, kotak saran, majalah dinding, taman
kebun sekolah, dll).
2)
Tersedia fasilitas air bersih, hygiene dan sanitasi, fasilitas kebersihan dan
fasilitas kesehatan.
3)
Fasilitas sanitasi seperti toilet, tempat cuci, disesuaikan dengan postur dan
usia anak.
4) Di
sekolah diterapkan kebijakan/peraturan yang mendukung kebersihan dan kesehatan.
Kebijakan/peraturan ini disepakati, dikontrol dan dilaksanakan oleh semua murid
(dari-oleh-dan untuk murid).
3. Prinsip
Membangun Sekolah Ramah Anak
Ada
beberapa prinsip yang mungkin bisa diterapkan untuk membangun sekolah yang
ramah anak, diantaranya adalah:53)
a. Sekolah
dituntut untuk mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah media, tidak sekedar
tempat yang menyenangkan bagi anak untuk belajar.
b. Dunia
anak adalah “bermain”. Dalam bermain itulah sesungguhnya anak melakukan proses
belajar dan bekerja. Sekolah merupakan tempat bermain yang memperkenalkan
persaingan yang sehat dalam sebuah proses belajar-mengajar.
c. Jika
saat ini sekolah hanya menuntut anak dengan berbagai nilai-nilai positif
berdasarkan perspektif prestasi orang tua dan target pengajaran para pendidik,
maka sekolah perlu menciptakan ruang bagi anak untuk berbicara mengenai
sekolahnya. Tujuannya agar terjadi dialektika antara nilai yang diberikan oleh
pendidikan kepada anak.
d. Para
pendidik tidak perlu merasa terancam dengan penilaian peserta didik karena pada
dasarnya nilai tidak menambah realitas atau substansi para obyek, melainkan hanya
nilai. Nilai bukan merupakan benda atau unsur dari benda, melainkan sifat,
kualitas, suigeneris yang dimiliki obyek tertentu yang dikatakan “baik”.
(Risieri Frondizi, 2001:9)
e. Sekolah
bukan merupakan dunia yang terpisah dari realitas keseharian anak dalam
keluarga karena pencapaian cita-cita seorang anak tidak dapat terpisahan dari
realitas keseharian. Penting bagi peserta didik untuk memiliki pemahaman bahwa
ilmu yang didapat di sekolah tidak terpisah dari kehidupan ri’il. Keterbatasan
jam pelajaran dan kurikulum yang mengikat menjadi kendala untuk memaknai lebih
dalam interaksi antara pendidik dengan anak. Untuk menyiasati hal tersebut
sekolah dapat mengadakan jam khusus diluar jam sekolah yang berisi sharing
antar anak maupun sharing antara guru dengan anak tentang realitas hidupnya di
keluarga masing-masing, misalnya: diskusi bagaimana hubungan dengan orang tua,
apa reaksi orang tua ketika mereka mendapatkan nilai buruk di sekolah, atau apa
yang diharapkan orang tua terhadap mereka. Hasil pertemuan dapat menjadi bahan
refleksi dalam sebuah materi pelajaran yang disampaikan di kelas. Cara ini
merupakan siasat bagi pendidik untuk mengetahui kondisi anak karena disebagian
masyarakat, anak dianggap investasi keluarga, sebagai jaminan tempat bergantung
di hari tua (Yulfita, 2000:22).